Gak perlu heran Bung, kenapa disaat rupiah kita ambruk, justru cadangan devisa kita naik. Yang paling terpengaruh oleh anjloknya Rupiah sebenarnya adalah barang-barang impor dan pembayaran utang LN yang sedang jatuh tempo. Barang impor akan menjadi lebih mahal, dan kita juga memerlukan Rupiah yang lebih banyak untuk mendapatkan dolar yang akan dipakai untuk membayar hutang LN.
Melemahnya Rupiah, justru akan berimbas positif pada ekspor kita. Harga produk kita akan menjadi lebih murah di LN, sehingga permintaan mereka akan bertambah. Karena permintaan mereka bertambah, maka ekspor kita juga bertambah. Setiap pertambahan ekspor akan meningkatkan devisa negara, dan setiap peningkatan devisa negara akan menghasilkan cadangan devisa di BI. Dalam kondisi tertentu, pelemahan sutu mata uang justru diperlukan.
Dalam hal ini, Jepang yang paling sering dengan secara sengaja melemahkan nilai mata uangnya, tujuannya tiada lain adalah untuk menjaga pertumbuhan ekspornya. Dan yang paling baru adalah China. China baru-baru ini disinyalir menyembunyikan data moneter nasional yang dimilikinya. Bisa benar, bisa juga tidak. Tapi China sangat cerdik. Mereka menggunakan tiga mata uang untuk kegiatan transaksinya. Di distrik Hongkong, mereka mebiarkan Dollar Hongkong beredar. Sementara untuk transaksi dalam negeri, mereka menggunakan Yuan. Sedangkan untuk biaya impor, mereka akan menggunakan Renmimbi China. Walaupun Renmimbi China menguat, mereka tidak akan Rugi, karena masih ada Yuan dipasar domestik.
Coba bandingkan dengan Rupiah. Jika Rupiah melemah, kita akan mengeluh karena harga barang akan naik. Keluhan ini sebenarnya hanya dirasakan oleh mereka bersentuhan dengan barang impor dan utang LN. Sedangkan bagi mereka yang export oriented, hal ini akan menjadi sebuah kesempatan emas untuk meraih keuntungan.
Begitupun sebaliknya, apabila Rupiah menguat, mungkin kita gembira, karena bisa beli laptop atau handphone dengan harga lebih miring, dan pemerintah juga bisa bayar utang LNnya dengan sedikit lega. Tapi ingat, kondisi ini justru memicu angka import yang meningkat, dan eksport tersendat. Sehingga kemudian terjadilah current account deficit atau yang lebih kita kenal dengan istilah defisit neraca perdagangan. Reaksi yang seringkali diambil pemerintah adalah, melakukan perubahan APBN, pengetatan anggaran kementrian, memangkas biaya subsidi dan melakukan skala prioritas terhadap aktivitas impor.
Untuk menjaga stabilitas Rupiah, kita memang telah menjalin kerjasama swap dengan beberapa negara yang dikenal memiliki cadangan devisa yang besar seperti Korea dan Malaysia. Tapi itu semua, sifatnya pinjaman, bukan simpanan. Berapa yang terpakai oleh kita dari total yang disepakati, maka itulah jumlah yang dikemudian hari harus dibayar pada mereka. Dana swap sifatnya untuk berjaga-jaga, apabila nanti dengan cadangan devisa yang ada, kita sudah tidak mampu lagi melakukan intervensi terhadap jatuhnya nilai mata uang kita. Ide kerjasama ini muncul karena kita, Malaysia dan juga Korea, pernah menjadi korban krisis ekonomi terparah tahun 1998. Sampai saat ini, Indonesia belum menggunakan sesen pun dari dana swap yang telah disepakati dengan berbagai negara, termasuk Jepang.
Melihat kecenderungan yang ada saat ini, saya yakin dana itu tidak akan terpakai. Indonesia sedang memasuki momentum ekonomi terbaru. Kita menjadi negara pertama yang keluar dari jeratan status lima negara dengan ekonomi paling rentan, diikuti oleh Brazil, Turki, Afrika Selatan dan India.
Dengan kekayaan SDA yang melimpah, ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa semiskin-miskinnya Indonesia, maka gak akan pernah menjadi miskin seperti negara miskin lainnya. Semoga. Amien…!
Yayan Supriatna