Mengingat
kita memiliki banyak ahli di bidang UAV (Unmanned Aerial Vehicle) dan
sudah terbukti dengan banyaknya varian produk yang dihasilkan, saya
mempromosikan penggunaan teknologi UAV di Indonesia melalui tulisan
terdahulu yang berjudul “Habis Nomad Bangunlah Skuadron UAV”. Melalui
tulisan serial otak Indonesia (2) ini saya ingin menuliskan beberapa
fakta mengenai UAV Made In Indonesia untuk meyakinkan Anda sekalian
bahwa otak kita sudah cukup cerdas untuk membuat UAV sendiri yang bisa
kita manfaatkan sendiri maupun kita ekspor. Referensi utama tulisan ini
adalah Majalah Angkasa edisi koleksi UAV.
Yang
jadi masalah sekarang adalah jangan sampai ahli-ahli dan industri UAV
kita hanya melongo dan menjadi penonton saja dari UAV-UAV yang nanti
akan beterbangan di langit kita. Jangan sampai kita mengulangi kebodohan
pemerintah dulu terhadap teknologi GSM. Saat itu kita sudah memiliki
ahli-ahli yang menguasai teknologi GSM tapi pemerintah lebih suka
mengimpor handphone dan teknologi GSM sehingga sekarang kita hanya bisa
menjadi konsumen belaka sehingga duit kita lari semua ke Finlandia
(Nokia), Korea Selatan (Samsung) maupun Cina.
Kalau
Anda masih meragukan otak kita dalam urusan UAV, cobalah berkunjung ke
Bandung. Di kota ini berderet industri swasta yang bergerak di bidang
pengembangan UAV seperti Globalindo Technology Services Indonesia,
Uavindo, Aviator, dan Robo Aero Indonesia. Juga ada perusahaan berbasis
aeromodelling sebagai pemasok suku cadang UAV seperti Telenetina dan
Bandung Modeler.
PT
Dirgantara Indonesia, sebenarnya memiliki sumber daya yang lebih dari
cukup untuk urusan UAV, wong membuat pesawat saja bisa.Tapi sayang, PT
DI baru bisa menghasilkan prototipe UAV kelas ringan dengan nama RUTAV.
Alasan utama adalah tiadanya dana.
Pengembangan UAV Swasta Nasional
Oktober 2006, pemerintah dikabarkan telah mengalokasikan 5 juta dollar AS untuk pembelian UAV dari Israel jenis Searcher Mk-II. Jenis UAV ini memang unggul secara teknologi dan yang jelas sudah battle proven. Mampu terbang selama 15 jam dengan jarak jangkau hingga 250 km serta mampu terbang hingga 20.000 kaki. Dengan daya beban hingga 100 kg, UAV Israel ini dapat membawa kamera TV resolusi tinggi, serta Automatic Video Tracker yang sangat dibutuhkan dalam sebuah operasi militer. Namun kelanjutan rencana ini tidak bisa diketahui karena kemudian mengundang demo penolakan produk Israel.
Oktober 2006, pemerintah dikabarkan telah mengalokasikan 5 juta dollar AS untuk pembelian UAV dari Israel jenis Searcher Mk-II. Jenis UAV ini memang unggul secara teknologi dan yang jelas sudah battle proven. Mampu terbang selama 15 jam dengan jarak jangkau hingga 250 km serta mampu terbang hingga 20.000 kaki. Dengan daya beban hingga 100 kg, UAV Israel ini dapat membawa kamera TV resolusi tinggi, serta Automatic Video Tracker yang sangat dibutuhkan dalam sebuah operasi militer. Namun kelanjutan rencana ini tidak bisa diketahui karena kemudian mengundang demo penolakan produk Israel.
30 Mei 2006, Menhan sudah
menyerahkan 5 UAV kepada TNI hasil produksi bersama PT DI, PT Pacific
Technology, PT Pindad dan LEN. Akhir April 2009, TNI juga terus
melakukan uji coba lanjutan meliputi uji manuver, low speed performance,
low altitude capability dan recovery. Bila berhasil, berikutnya adalah
uji coba sistem termasuk monitoring dan pengiriman data dan pengendalian
dari Command Post Cabin.
Melihat fakta di atas sepertinya pemerintah sudah melirik UAV sebagai teknologi militer masa depan.
Yang jadi masalah sekarang adalah
jangan sampai ahli-ahli dan industri UAV kita hanya melongo dan menjadi
penonton saja dari UAV-UAV yang nanti akan beterbangan di langit kita.
Jangan sampai kita mengulangi kebodohan pemerintah dulu terhadap
teknologi GSM. Saat itu kita sudah memiliki ahli-ahli yang menguasai
teknologi GSM tapi pemerintah lebih suka mengimpor handphone dan
teknologi GSM sehingga sekarang kita hanya bisa menjadi konsumen belaka
sehingga duit kita lari semua ke Finlandia (Nokia), Korea Selatan
(Samsung) maupun Cina.
PT
Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI) didirikan oleh Endri
Rachman, mantan karyawan PT DI yang hijrah ke Malaysia menjadi dosen di
Universiti Sains Malaysia. Beliau dan bersama sesama mantan karyawan PT
DI mendirikan perusahaan PT GTSI. UAV perdananya adalah Kujang , mampu
membawa muatan kamera survaillance 20 kg, lama terbang 2-3 jam dengan
kecepatan maksimal sampai 150 km/jam. Ironisnya, peminat pertama UAV
Kujang ini adalah Malaysia, bukan pemerintah Indonesia.
Selain UAV Kujang,
UAV
Kujang (gambar 6) termasuk ke dalam katagori pesawat terbang tanpa awak
taktis karena UAV Kujang dapat terbang selama 2-3 jam non-stop dengan
jarak operasi sejauh 50 km. Selain itu pesawat ini dapat terbang dengan
kecepatan jelajah sebesar 100 km/jam pada ketinggian 1000 m. UAV Kujang
mempunyai berat berlepas sekitar 20 kg dan mampu membawa kamera seberat 5
kg.
Gambar 6: UAV Kujang
UAV
Kujang merupakan merupakan UAV yang kedua y dan
merupakan modifikasi dari dari UAV Tamingsari. Nama UAV kujang diambil
berdasarkan nama keris (senjata) yang digunakan oleh orang-orang sunda
yang tinggal di jawa barat. Selain itu, nama UAV Kujang diambil untuk
menunjukan bahwa UAV ini dibuat seluruhnya di Bandung (ibukota propinsi
Jawa Barat) yang meliputi proses disain, produksi, pemasangan sistem dan
juga test terbang.
UAV
Kujang di disain dengan misi untuk pemetaan dan pemantauan dari udara
seperti foto udara, pemantauan daerah banjir, pemantauan lalulintas
kendaraan, pemantauan pencemaran udara, pemantauan daerah bencana
tsunami,dll.
Gambar 7: Pemantauan dan Pemotretan kawasan perumahandari udara.
Setelah proses disain dan optimisasi, konfigurasi pesawat UAV Kujang adalah sebagai berikut (gambar 8 )
- Dimensi : panjang badan 2.5 m, kepak sayap 3 m dan diameter badan pesawat 0.3 m.
- Konfigurasi airframe: badan pesawat ellipse, sayap lurus , ekor kembar dengan bidang kendali elevator di atas ekor menegak.
- Pemasangan mesin jenis pusher (di belakang)
- Landing gear: roda depan dapat di stir, roda belakang tetap .
- Bahan: komposit serat kaca (fibre glass) untuk seluruh pesawat.
- Mesin : mesin propeller 2 siklus dengan daya 5.5 kuasa kuda.
Sistem Avionik UAV Kujang.
UAV Kujang digunakan untuk pemetaan dan pemantauan dari udara
berjarak jauh, diluar jangkauan mata manusia, maka UAV tersebut harus
dapat terbang dengan sendirinya secara otomatis. Untuk jarak yg jauh,
seorang operator dari darat tidak bisa mengendalikan UAV Kujang secara
langsung. Oleh sebab itu UAV Kujang telah dilengkapi dengan sistem
penerbangan otomatis (autopilot) jarak jauh dan sistem kendali darat
(ground control station).
Sistem avionik UAV Kujang terdiri dari beberapa komponen, yaitu autopilot hardware yg mengandungi jenis-jenis
logika terbang otomatis (autopilot mode), sistem navigasi berbasiskan
satelit GPS (ground positioning system), sistem pengendalian pesawat
berbasiskan RC ( RC based flight control system), sensor penerbangan
IMU dan sistem pitot, kamera, sistem telemetri (komunikasi) dan station
kendali darat GCS, seperti yang ditunjukan pada gamba 9 dibawah ini.
Gambar 9: Sistem Avionics UAV Kujang.
Melalui
sistem telemetri yang terpasang pada UAV, autopilot dapat menerima
perintah-perintah terbang dari sistem kendali darat (GCS) yang berupa
mod autopilot, dan perintah-perintah terbang yg diinginkan seperti arah
terbang, kecepatan terbang, ketinggian terbang, dan rute penerbangan
yang dibentuk oleh waypoints (tititk penerbangan),dll.
Ketika
sedang terbang, perintah-perintah terbang tersebut akan dibandingkan
dengan parameter terbang yang di ukur oleh sistem sensor, seperti arah,
kecepatan, ketinggian serta posisi UAV untuk diproses oleh logika-logika
autopilot dalam menghasilkan signal-signal kendali. Signal-signal ini
akan dikirim ke servo motor–servo motor untuk menggerakan bidang-bidang
kendali pesawat sehingga UAV Kujang dapat terbang secara otomatis
tanpa bantuan operator sesuai dengan rute penerbangan yang telah
ditentukan .
Gambar
10 dibawah ini menunjukan bagaimana mod autopilot, armed NAV dan
coupled NAV (navigation) menyebabkan UAV dapat terbang secara tepat dan
otomatis sesuai dengan route penerbangan yang telah ditentukan
berdasarkan waypoints yg sudah diprogram sebelumnya pada autopilot.
Gambar 10 : Fungsi Autopilot mod 'Armed dan coupled Navigation' ( dimulai dari kanan bawah)
Ketika
proses tracking ini berlangsung, video kamera yang terpasang dibawah
badan pesawat UAV Kujang akan menangkap gambar dan/atau video permukaan
bumi untuk dikirim ke stasiun kendali darat untuk dilihat dan dianalisa
oleh operator yg duduk di
bawah. Selain itu juga, melalui system telemetri setiap kondisi terbang,
posisi dan kedudukan UAV Kujang dapat dimonitor pada layar panel yg
berada di dalam stasiun kendali darat, lihat gambar 11 .
Gambar 11 : Tampilan Layar/Monitor di dalam Station Kendali Darat UAV
SS-5 diproduksi oleh PT.UAVINDO
PT
Aviator, dibentuk oleh beberapa mantan karyawan PT Uavindo. Produk
unggulannya adalah SmartEagle II , mampu terbang selama 6 jam dengan
jarak maksimum 300 km. Bisa diadu dengan Searcher Mk II dari Israel,
hanya sayangnya berat muatan maksimum hanya sampai 20 kg, bandingkan
dengan beban 100 kg yang mampu dibawa oleh Searcher Mk II. Sekarang PT
Aviator menggandeng Irkuts dari Rusia untuk memasarkan produk secara
bersama.
Smart Eagle II diproduksi oleh PT. AVIATOR
PT
Robo Aero Indonesia (RAI) didirikan oleh beberapa dosen ITB yang
melihat peluang besar bisnis UAV di dalam maupun luar negeri. Mereka
sudah membuat prototipe UAV dengan jarak operasional 20 km, 50 km dan
100 km secara otonomi .
UAV buatan mahasiswa Teknik Penerbangan ITB sudah mampu unjuk gigi dengan menjuarai kontes UAV di Taiwan dan Korea Selatan.
BPPT
juga sudah membuat beberapa prototipe UAV yang dalam produksi dan
pemasarannya menggandeng PT Aviator dan UKM Djubair OD di Tangerang.
Yang
membuat saya bangga, kalau Anda membaca The UAV Market Report: Forecast
and Analysis 2008 – 2018, Indonesia ditempatkan di posisi terhormat
sebagai salah satu produsen UAV di Asia Pasifik dengan produk yang
dituliskan di laporan tersebut adalah PUNA (keluaran BPPT), Smart Eagle I
& II (keluaran PT Aviator) dan SS-5 (keluaran PT Uavindo)
Sebagai
penutup tulisan ini marilah kita hitung-hitungan. Untuk membeli sebuah
pesawat patroli maritim sekelas CN-235 MPA butuh dana 30-35 juta dollar
AS. Dengan dana yang sama kita bisa beli 6-7 buah UAV dari Israel
lengkap dengan GCS, kamera dan sistem pendukungnya. Berarti kita sudah
bisa membentuk 1 skuadrom UAV lengkap. Kalau dana itu dipakai untuk
membeli UAV lokal dengan spesifikasi standar, kita bisa membeli 20-30
UAV intai, berarti bisa membentuk 3-4 skuadron intai.
Coba
kalau Patroli Bea Cukai di Kepulauan Riau dan Selat Malaka menggunakan
UAV, pastilah penyelundupan dari Singapura dan Malaysia ke pantai timur
Sumatera bisa banyak dicegah.
Demikian
pula seandainya kapal patroli DKP (Departemen kelautan dan perikanan)
di laut Natuna, laut Aru, laut Banda maupun Selat Sulawesi dilengkapi
UAV pastilah pencurian ikan bisa ditindak dengan biaya yang lebih murah.
Bukan seperti tahun lalu, baru tender pengadaan kapal patroli saja
sudah ada korupsi.
Kalau
Anda cermat, beberapa bulan belakangan ini MetroTV sudah mulai
menggunakan UAV untuk siaran langsung saat penggebrekan teroris di
Jatiasih, Temanggung dan Jebres Solo, juga saat liputan mudik lebaran
yag lalu. Jadi UAV ini akan semakin memasyarakat, sayang kalau
orang-orang bule dan para tengkulak (baca: importir) yang dapat untung
dari negeri ini seperti kasus-kasus teknologi sebelumnya.
Ditulis ulang 0leh Dipl.-Ing. Endri Rachman dari Kompasiana - Internet dari Artikel Aslinya yang berjudul Serial Otak Indonesia (2) : UAV Made in Indonesia, tulisan Osakurniawan Ilham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar