Halaman

Selasa, 27 Agustus 2013

PERKEMBANGAN  U A V INDONESIA
Mengingat kita memiliki banyak ahli di bidang UAV (Unmanned Aerial Vehicle) dan sudah terbukti dengan banyaknya varian produk yang dihasilkan, saya mempromosikan penggunaan teknologi UAV di Indonesia melalui tulisan terdahulu yang berjudul “Habis Nomad Bangunlah Skuadron UAV”. Melalui tulisan serial otak Indonesia (2) ini saya ingin menuliskan beberapa fakta mengenai UAV Made In Indonesia untuk meyakinkan Anda sekalian bahwa otak kita sudah cukup cerdas untuk membuat UAV sendiri yang bisa kita manfaatkan sendiri maupun kita ekspor. Referensi utama tulisan ini adalah Majalah Angkasa edisi koleksi UAV.




Yang jadi masalah sekarang adalah jangan sampai ahli-ahli dan industri UAV kita hanya melongo dan menjadi penonton saja dari UAV-UAV yang nanti akan beterbangan di langit kita. Jangan sampai kita mengulangi kebodohan pemerintah dulu terhadap teknologi GSM. Saat itu kita sudah memiliki ahli-ahli yang menguasai teknologi GSM tapi pemerintah lebih suka mengimpor handphone dan teknologi GSM sehingga sekarang kita hanya bisa menjadi konsumen belaka sehingga duit kita lari semua ke Finlandia (Nokia), Korea Selatan (Samsung) maupun Cina.

Kalau Anda masih meragukan otak kita dalam urusan UAV, cobalah berkunjung ke Bandung. Di kota ini berderet industri swasta yang bergerak di bidang pengembangan UAV seperti Globalindo Technology Services Indonesia, Uavindo, Aviator, dan Robo Aero Indonesia. Juga ada perusahaan berbasis aeromodelling sebagai pemasok suku cadang UAV seperti Telenetina dan Bandung Modeler.

PT Dirgantara Indonesia, sebenarnya memiliki sumber daya yang lebih dari cukup untuk urusan UAV, wong membuat pesawat saja bisa.Tapi sayang, PT DI baru bisa menghasilkan prototipe UAV kelas ringan dengan nama RUTAV. Alasan utama adalah tiadanya dana.
Pengembangan UAV Swasta Nasional 

Oktober 2006, pemerintah dikabarkan telah mengalokasikan 5 juta dollar AS untuk pembelian UAV dari Israel jenis Searcher Mk-II. Jenis UAV ini memang unggul secara teknologi dan yang jelas sudah battle proven. Mampu terbang selama 15 jam dengan jarak jangkau hingga 250 km serta mampu terbang hingga 20.000 kaki. Dengan daya beban hingga 100 kg, UAV Israel ini dapat membawa kamera TV resolusi tinggi, serta Automatic Video Tracker yang sangat dibutuhkan dalam sebuah operasi militer. Namun kelanjutan rencana ini tidak bisa diketahui karena kemudian mengundang demo penolakan produk Israel.

30 Mei 2006, Menhan sudah menyerahkan 5 UAV kepada TNI hasil produksi bersama PT DI, PT Pacific Technology, PT Pindad dan LEN. Akhir April 2009, TNI juga terus melakukan uji coba lanjutan meliputi uji manuver, low speed performance, low altitude capability dan recovery. Bila berhasil, berikutnya adalah uji coba sistem termasuk monitoring dan pengiriman data dan pengendalian dari Command Post Cabin.
Melihat fakta di atas sepertinya pemerintah sudah melirik UAV sebagai teknologi militer masa depan.

Yang jadi masalah sekarang adalah jangan sampai ahli-ahli dan industri UAV kita hanya melongo dan menjadi penonton saja dari UAV-UAV yang nanti akan beterbangan di langit kita. Jangan sampai kita mengulangi kebodohan pemerintah dulu terhadap teknologi GSM. Saat itu kita sudah memiliki ahli-ahli yang menguasai teknologi GSM tapi pemerintah lebih suka mengimpor handphone dan teknologi GSM sehingga sekarang kita hanya bisa menjadi konsumen belaka sehingga duit kita lari semua ke Finlandia (Nokia), Korea Selatan (Samsung) maupun Cina.

PT Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI) didirikan oleh Endri Rachman, mantan karyawan PT DI yang hijrah ke Malaysia menjadi dosen di Universiti Sains Malaysia. Beliau dan bersama sesama mantan karyawan PT DI mendirikan perusahaan PT GTSI. UAV perdananya adalah Kujang , mampu membawa muatan kamera survaillance 20 kg, lama terbang 2-3 jam dengan kecepatan maksimal sampai 150 km/jam. Ironisnya, peminat pertama UAV Kujang ini adalah Malaysia, bukan pemerintah Indonesia.
Selain UAV Kujang,
UAV Kujang (gambar 6) termasuk ke dalam katagori pesawat terbang tanpa awak taktis karena UAV Kujang dapat terbang selama 2-3 jam non-stop dengan jarak operasi sejauh 50 km. Selain itu pesawat ini dapat terbang dengan kecepatan jelajah sebesar 100 km/jam pada ketinggian 1000 m. UAV Kujang mempunyai berat berlepas sekitar 20 kg dan mampu membawa kamera seberat 5 kg.


Gambar 6: UAV Kujang

UAV Kujang merupakan merupakan UAV yang kedua y dan merupakan modifikasi dari dari UAV Tamingsari. Nama UAV kujang diambil berdasarkan nama keris (senjata) yang digunakan oleh orang-orang sunda yang tinggal di jawa barat. Selain itu, nama UAV Kujang diambil untuk menunjukan bahwa UAV ini dibuat seluruhnya di Bandung (ibukota propinsi Jawa Barat) yang meliputi proses disain, produksi, pemasangan sistem dan juga test terbang.

UAV Kujang di disain dengan misi untuk pemetaan dan pemantauan dari udara seperti foto udara, pemantauan daerah banjir, pemantauan lalulintas kendaraan, pemantauan pencemaran udara, pemantauan daerah bencana tsunami,dll.

 
Gambar 7: Pemantauan dan Pemotretan kawasan perumahandari udara.


Setelah proses disain dan optimisasi, konfigurasi pesawat UAV Kujang adalah sebagai berikut (gambar 8 )

  • Dimensi : panjang badan 2.5 m, kepak sayap 3 m dan diameter badan pesawat 0.3 m.
  • Konfigurasi airframe:  badan pesawat ellipse, sayap lurus , ekor kembar dengan bidang kendali elevator di atas  ekor menegak.
  • Pemasangan mesin jenis pusher (di belakang)
  • Landing gear:  roda depan dapat di stir, roda belakang tetap .
  • Bahan: komposit  serat kaca (fibre glass) untuk seluruh pesawat.
  • Mesin : mesin propeller 2 siklus dengan daya 5.5 kuasa kuda.
Sistem Avionik UAV Kujang.
  
UAV Kujang digunakan untuk pemetaan dan pemantauan dari udara berjarak jauh, diluar jangkauan mata manusia, maka UAV tersebut harus dapat terbang dengan sendirinya secara otomatis. Untuk jarak yg jauh, seorang operator dari darat tidak bisa mengendalikan UAV Kujang secara langsung. Oleh sebab itu UAV Kujang telah dilengkapi dengan sistem penerbangan otomatis (autopilot) jarak jauh dan sistem kendali darat (ground control station).

Sistem avionik UAV Kujang terdiri dari beberapa komponen, yaitu  autopilot hardware yg mengandungi  jenis-jenis logika terbang otomatis (autopilot mode), sistem navigasi berbasiskan satelit GPS (ground positioning system), sistem pengendalian pesawat berbasiskan RC ( RC based flight control system),  sensor penerbangan IMU dan sistem pitot,  kamera, sistem telemetri (komunikasi) dan station kendali darat GCS, seperti yang ditunjukan pada gamba 9 dibawah ini.


Gambar 9: Sistem Avionics UAV Kujang.

Melalui sistem telemetri yang terpasang pada UAV, autopilot dapat menerima perintah-perintah terbang dari sistem kendali darat (GCS) yang berupa mod autopilot, dan perintah-perintah terbang yg diinginkan seperti arah terbang, kecepatan terbang, ketinggian terbang, dan rute penerbangan yang dibentuk oleh waypoints (tititk penerbangan),dll. 

Ketika sedang terbang, perintah-perintah terbang tersebut akan dibandingkan dengan parameter terbang yang di ukur oleh sistem sensor, seperti arah, kecepatan, ketinggian serta posisi UAV untuk diproses oleh logika-logika autopilot dalam menghasilkan signal-signal kendali. Signal-signal  ini akan dikirim ke servo motor–servo motor untuk menggerakan bidang-bidang kendali pesawat  sehingga UAV Kujang dapat terbang secara otomatis tanpa bantuan operator sesuai dengan rute penerbangan yang telah ditentukan .

Gambar 10 dibawah ini menunjukan bagaimana mod autopilot, armed NAV dan coupled NAV (navigation) menyebabkan UAV  dapat terbang secara tepat dan otomatis sesuai dengan route penerbangan yang telah ditentukan berdasarkan waypoints yg sudah diprogram sebelumnya pada autopilot.
 Gambar 10 : Fungsi Autopilot mod  'Armed dan coupled Navigation' ( dimulai dari kanan bawah)
 
Ketika proses tracking ini berlangsung, video kamera yang terpasang dibawah badan pesawat UAV Kujang akan menangkap gambar dan/atau video permukaan bumi untuk dikirim ke stasiun kendali darat untuk dilihat dan dianalisa oleh operator yg  duduk di bawah. Selain itu juga, melalui system telemetri setiap kondisi terbang, posisi dan kedudukan UAV Kujang dapat dimonitor pada layar panel yg berada di dalam stasiun kendali darat, lihat gambar 11 .

Gambar 11 : Tampilan Layar/Monitor  di dalam Station Kendali Darat UAV
 


SS-5 diproduksi oleh PT.UAVINDO



PT Aviator, dibentuk oleh beberapa mantan karyawan PT Uavindo. Produk unggulannya adalah SmartEagle II , mampu terbang selama 6 jam dengan jarak maksimum 300 km. Bisa diadu dengan Searcher Mk II dari Israel, hanya sayangnya berat muatan maksimum hanya sampai 20 kg, bandingkan dengan beban 100 kg yang mampu dibawa oleh Searcher Mk II. Sekarang PT Aviator menggandeng Irkuts dari Rusia untuk memasarkan produk secara bersama.

 
 
Smart Eagle II diproduksi oleh PT. AVIATOR


PT Robo Aero Indonesia (RAI) didirikan oleh beberapa dosen ITB yang melihat peluang besar bisnis UAV di dalam maupun luar negeri. Mereka sudah membuat prototipe UAV dengan jarak operasional 20 km, 50 km dan 100 km secara otonomi .

UAV buatan mahasiswa Teknik Penerbangan ITB sudah mampu unjuk gigi dengan menjuarai kontes UAV di Taiwan dan Korea Selatan.

BPPT juga sudah membuat beberapa prototipe UAV yang dalam produksi dan pemasarannya menggandeng PT Aviator dan UKM Djubair OD di Tangerang.

Yang membuat saya bangga, kalau Anda membaca The UAV Market Report: Forecast and Analysis 2008 – 2018, Indonesia ditempatkan di posisi terhormat sebagai salah satu produsen UAV di Asia Pasifik dengan produk yang dituliskan di laporan tersebut adalah PUNA (keluaran BPPT), Smart Eagle I & II (keluaran PT Aviator) dan SS-5 (keluaran PT Uavindo)

Sebagai penutup tulisan ini marilah kita hitung-hitungan. Untuk membeli sebuah pesawat patroli maritim sekelas CN-235 MPA butuh dana 30-35 juta dollar AS. Dengan dana yang sama kita bisa beli 6-7 buah UAV dari Israel lengkap dengan GCS, kamera dan sistem pendukungnya. Berarti kita sudah bisa membentuk 1 skuadrom UAV lengkap. Kalau dana itu dipakai untuk membeli UAV lokal dengan spesifikasi standar, kita bisa membeli 20-30 UAV intai, berarti bisa membentuk 3-4 skuadron intai.

Coba kalau Patroli Bea Cukai di Kepulauan Riau dan Selat Malaka menggunakan UAV, pastilah penyelundupan dari Singapura dan Malaysia ke pantai timur Sumatera bisa banyak dicegah.
Demikian pula seandainya kapal patroli DKP (Departemen kelautan dan perikanan) di laut Natuna, laut Aru, laut Banda maupun Selat Sulawesi dilengkapi UAV pastilah pencurian ikan bisa ditindak dengan biaya yang lebih murah. Bukan seperti tahun lalu, baru tender pengadaan kapal patroli saja sudah ada korupsi.

Kalau Anda cermat, beberapa bulan belakangan ini MetroTV sudah mulai menggunakan UAV untuk siaran langsung saat penggebrekan teroris di Jatiasih, Temanggung dan Jebres Solo, juga saat liputan mudik lebaran yag lalu. Jadi UAV ini akan semakin memasyarakat, sayang kalau orang-orang bule dan para tengkulak (baca: importir) yang dapat untung dari negeri ini seperti kasus-kasus teknologi sebelumnya.


Ditulis ulang 0leh Dipl.-Ing. Endri Rachman dari Kompasiana - Internet dari Artikel Aslinya yang berjudul Serial Otak Indonesia (2) : UAV Made in Indonesia, tulisan Osakurniawan Ilham.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar