Halaman

Selasa, 27 Agustus 2013

Sejarah roket di tanah Indonesia


Pada 22 September 1962 dibentuk Projek Roket Ilmiah dan Militer Awal (PRIMA) afiliasi AURI dan ITB yang dipimpin Boediardjo dan J Salatun. Tonggak sejarah awal ini ditandai dengan peluncuran roket ilmiah seri Kartika pada tahun 1964. Roket Kartika I merupakan roket sounding kedua di negara Asia-Afrika saat itu, sesudah Jepang. Alat telemetrinya yang kedua sesudah India, berhasil merekam sinyal-sinyal dari satelit cuaca TIROS dengan alat buatan dalam negeri.

Roket Kartika I diluncurkan dari pamengpeuk dengan berat 220 kg, roket Kartika II berbobot 66,5 kg dan berjarak tempuh 50 km. Setelah Orla tumbang digantikan Orba, fokus teknologi dirgantara sangat condong dengan industri pesawat terbang dengan hadirnya BJ Habibie di dekade 1970-an. Perkembangan teknologi luar angkasa berjalan terseok-seok. Kini negara Asia yang sangat maju dan intesif mengembangkannya adalah Jepang, RRC, dan India. Saat ini telah disusul Iran dan sangat besar kemungkinannya adalah Pakistan. Bahkan RRC memiliki program taikonot untuk menempatkan ilmuwan China ke angkasa luar.Mereka pada tahun 2008 berhasil menempatkan 3 awak dengan kapsul Shenzhou VII di luar angkasa dan Zhai Zhigang adalah taikonot pertama mereka dengan melalukan spacewalk pertama selama 20 menit. Menjadikan RRC sebagai negara keriga di dunia yang berhasil menempatkan manusia di luar angkasa setelah Soviet/Rusia dan Ameika Serikat.

Seandainya Indonesia konsisten mengembangkan teknologi roket luar angkasa tidaklah mustahil kini bisa sejajar dengan negara-negara tersebut. Bahkan teknologi roket sangat strategis dalam sistem pertahanan dan efek deterrent besar karena dengan mudah diubah untuk fungsi militer menjadi rudal balistik jarak jauh dan mengganti payload dengan hulu ledak. Efek deterrent jauh lebih besar dari pada pesawat tempur. Sayang, harapan itu hingga sekarang masih dalam taraf perintisan sejak hampir lima puluh tahun yang lalu. Masih berkutat dengan proyek ekperimental meski diakui semakin melangkah maju. Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km.

Terakhir Lapan telah berhasil meluncurkan roket eksperimental RX-320 pada 30 Mei 2008 dan RX-420, 2 Juli 2009, yang dilaksanakan di Stasiun Uji Terbang Pamengpeuk, Jawa Barat. Itu mendekati fase akhir untuk peluncuran RPS (Roket Pendorong Satelit). Roket tersebut merupakan roket pendorong satelit bertingkat empat yang disebut dengan Roket Pendorong Satelit (RPS)-420 dan direncanakan bisa diluncurkan 2014. Stasiun peluncuran akan dibangun di pulau Enggano yang lebih representatif daripada di Pamengpeuk Garut Jabar. Saat ini ilmuwan Indonesia telah mampu membuat satelit mikro TUB-SAT mekerja sama dengan Universitas Teknologi Berlin. Satelit mikro pertama bernama LAPAN-A1 telah diluncurkan pada 2007 dengan roket India di stasiun peluncuran Shriharikota.



R-Han 122


Berawal pada tahun 2007 saat Kementerian Riset dan Teknologi membentuk Tim D230 untuk mengembangkan roket berdiameter 122 mm dengan jarak jangkau 20 kilometer. Prototipe roket D-230 ini dibeli Kementerian Pertahanan dan Keamanan untuk memperkuat program seribu roket. Pemerintah membentuk Konsorsium Roket Nasional dengan ketua konsorsium PT Dirgantara Indonesia (DI), sebagai wadah memasuki bisnis massal yang sudah ada sejak 2005. Namun, baru dikembangkan roket D-230 pada 2007 hingga terbentuk konsorsium tersebut.
Konsorsium itu beranggotakan sejumlah industri strategis yang mengerjakan bermacam komponen roket. Di dalam konsorsium terdapat PT Pindad yang mengembangkan launcher dan firing system dengan menggunakan platform GAZ, Nissan, dan Perkasa yang sudah dimodifikasi dengan laras 16/warhead dan mobil launcher (hulu ledak). Kemudian juga PT Dahana menyediakan propellant, PT Krakatau Steel mengembangkan material tabung dan struktur roket. PT Dirgantara Indonesia membuat desain dan menguji jarak terbang.
Pendukung lain dalam konsorsium adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) turut menyediakan alat penentu posisi jatuh roket. ITB menyediakan sistem kamera nirkabel untuk menangkap dan mengirim gambar saat roket tiba di sasaran. Sejumlah perguruan tinggi lainnya, yakni UGM, ITS, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universitas Suryadharma, ikut terlibat di dalam pengembangan roket tersebut. Nama D-230 kemudian diganti menjadi R-Han 122 karena sudah dibeli Kementerian Pertahanan.
Sistem isolasi termal untuk membuat roket militer tidaklah mudah. Para periset beberapa kali melakukan uji coba hingga menemukan kesempurnaan pada roket R-Han 122 itu.
Pada 2003 para periset menggunakan material kritis dengan ketebalan baja 1,2 mm, tetapi produk justru cepat jebol. Kemudian para peneliti mulai memperbaiki sistem isolasi termal. Saat roket meluncur sempurna dibutuhkan suhu 3.000 derajat Celcius. Pembakaran dengan menghasilkan suhu tinggi bisa berakibat fatal apabila sistem isolasi termal tidak bekerja dengan baik. Karena itu, di ruang isolasi termal diberi karet atau polimer yang bisa menghambat panas. Untuk material roket, dipilih bahan yang ringan, yakni aluminium, karena bisa menghambat panas.Uji peluncuran

Adi Indra Hermanu, Kepala Subbidang Analis Teknologi Hankam Kementerian Ristek, menyatakan, uji coba peluncuran roket R-Han 122 dilaksanakan akhir Maret di Baturaja, Sumatera Selatan. Sebanyak 50 roket diluncurkan di hutan lindung itu. ”Roket R-Han 122 yang diluncurkan rata-rata mampu melesat dengan kecepatan 1,8 mach atau 2.205 km per jam,” ujarnya.

Pada tahap peluncuran, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika berperan mengoperasikan sistem radar untuk memantau posisi jatuh roket. ITB memasang sistem kamera nirkabel untuk merekam gambar saat roket meluncur sampai di lokasi sasaran.

Dalam penggunaannya, R-Han 122 pada tahap awal akan menjadi senjata dengan sasaran target di darat yang berjarak tembak 15 km. Roket ini akan digunakan TNI AL untuk pengamanan pantai.

Menurut Sonny S Ibrahim, Asisten Direktur Utama PTDI, tahun ini tahap pengembangan teknis selesai. Persiapan industrialisasi saat ini sudah 80 persen. (Kompas, 31 Mei 2012/ humasristek) Perubahan-perubahan itu ternyata menghasilkan roket yang tidak pernah rusak saat diujicobakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar